Esensi Malu Dalam Kehidupan
Khutbah Pertama:
إِنَّ الْحَمْدَ لِلَّهِ نَحْمَدُهُ وَنَسْتَعِيْنُهُ وَنَسْتَغْفِرُهُ وَنَعُوْذُ بِاللهِ مِنْ شُرُوْرِ أَنْفُسِنَا وَمِنْ سَيِّئَاتِ أَعْمَالِنَا مَنْ يَهْدِهِ اللهُ فَلَا مُضِلَّ لَهُ وَمَنْ يُضْلِلْ فَلَا هَادِيَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنْ لَا إِلَهَ إِلَّا اللهُ وَحْدَهُ لَا شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ
أَمَّا بَعْدُ
أَيُّهَا النَّاسُ اِتَّقُوْا اللهَ تَعَالَى
Kaum muslimin rahimakumullah,
Marilah kita senantiasa istiqamah dalam menjaga ketakwaan kita kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Dan hendaklah kita benar-benar merasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Hendaknya kita senantiasa menyadari bahwa ada malaikat yang diutus Allah ‘Azza wa Jalla untuk mencatat semua amal kita. Malaikat itu senantiasa mendengar dan melihat apapun yang kita lakukan meski sangat rahasia dan tersembunyi. Janganlah sekali-kali kita berbuat kemaksiatan dengan anggapan tiada yang tahu sama sekali. Karena malaikat yang diutus oleh Allah ‘Azza wa Jalla untuk mengawasi selalu tahu dan terus mencatat segala perbuatan kita.
Ibadallah,
Sifat malu termasuk di antara sifat terpuji yang sudah ditinggalkan oleh banyak orang. Padahal sifat ini bisa mendatangkan banyak kebaikan bagi orang yang bersifat dengannya serta membentenginya agar tidak terjerumus dalam perilaku buruk. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Sesungguhnya rasa malu itu hanya mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari).
Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam juga mengabarkan bahwa malu merupakan bagian dan cabang dari keimanan. Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
الْإِيمَانُ بِضْعٌ وَسَبْعُونَ أَوْ بِضْعٌ وَسِتُّونَ شُعْبَةً فَأَفْضَلُهَا قَوْلُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ وَأَدْنَاهَا إِمَاطَةُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ وَالْحَيَاءُ شُعْبَةٌ مِنْ الْإِيمَانِ
“Iman memiliki tujuh puluh atau enam puluh cabang lebih. Yang tertinggi adalah ucapan laa ilaaha illallaah dan yang terendah adalah menyingkirkan gangguan dari jalan. Dan rasa malu itu salah satu cabang dari keimanan.” (HR. Muslim).
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah bertemu dengan seseorang yang sedang mengingatkan atau mencela saudaranya yang pemalu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
دَعْهُ فَإِنَّ الْحَيَاءَ مِنْ الْإِيمَانِ
“Biarkan dia, karena sesungguhnya malu itu adalah sebagian dari iman.” (HR. Bukhari).
Beberapa hadits di atas menunjukkan bahwa malu bukan suatu yang buruk, bahkan sebaliknya termasuk sifat terpuji.
Simak juga apa yang dikatakan Ibnul Qayyim rahimahullah, “Kata al-Haya’ berasal dari (satu kata dasar dengan) al-hayat (kehidupan). Oleh karena itu, hujan juga disebut al-haya (pembawa kehidupan). Kadar rasa malu seseorang sangat tergantung dengan kadar hidupnya hati. Sedikitnya rasa malu merupakan indikasi hati dan ruhnya telah mati. Semakin hidup hati seseorang, maka rasa malunya akan semakin sempurna.”
Kaumu muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Rasa malu itu ada dua yaitu malu kepada Allah dan malu kepada manusia.
Pertama: Malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla maksudnya merasa malu dilihat Allah ‘Azza wa Jalla saat melakukan perbuatan maksiat. Sebagaimana dijelaskan oleh Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam sabda Beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam,
اسْتَحْيُوا مِنْ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ قَالُوا : إِنَّا نَسْتَحِي يَا رَسُولَ اللَّهِ , قَالَ لَيْسَ ذَلِكَ وَلَكِنْ مَنْ اسْتَحَى مِنَ اللَّهِ حَقَّ الْحَيَاءِ فَلْيَحْفَظِ الرَّأْسَ وَمَا حَوَى وَلْيَحْفَظِ الْبَطْنَ وَمَا وَعَى وَلْيَذْكُرِ الْمَوْتَ وَالْبِلَى وَمَنْ أَرَادَ الْآخِرَةَ تَرَكَ زِينَةَ الدُّنْيَا فَمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ فَقَدْ اسْتَحْيَا مِنْ اللَّهِ عَزَّ وَجَلَّ حَقَّ الْحَيَاءِ
“Hendaklah kalian benar-benar merasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla.” Para sahabat menjawab, “Kami sudah merasa malu, wahai Rasulullah.” Rasulullah bersabda, “Bukan itu maksudnya, akan tetapi barangsiapa yang benar-benar merasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla maka dia harus menjaga kepala beserta isinya, menjaga perut beserta isinya dan dia terus mengingat kematian. Orang yang menginginkan akhirat, dia pasti akan meninggalkan keindahan dunia. Barangsiapa melakukan ini berarti dia benar-benar merasa malu kepada Allah.” (HR. Ahmad dan Tirmidzi).
Dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjelaskan dengan gamblang sifat orang yang tertanam rasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam lubuk hatinya. Yaitu dia terus berusaha menjaga seluruh anggota tubuhnya agar tidak berbuat dosa dan maksiat, senantiasa ingat kematian, tidak punya keinginan yang muluk-muluk terhadap dunia dan tidak terlena dengan nafsu syahwat.
Orang yang merasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla, dia akan menjauhi semua larangan Allah ‘Azza wa Jalla dalam segala kondisi, baik saat sendiri maupun di tengah keramaian. Rasa malu seperti masuk dalam kategori ibadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla. Sebuah rasa yang merupakan buah dari ma’rifatullah ( mengenal Allah ‘Azza wa Jalla). Rasa malu yang muncul karena menyadari keagungan dan kedekatan Allah ‘Azza wa Jalla. Rasa malu yang timbul karena tahu Allah ‘Azza wa Jalla itu Maha Mengetahui terhadap semua perbuatan, yang nampak maupun yang tersembunyi dalam hati. Rasa malu seperti inilah yang masuk dalam bagian iman tertinggi bahkan menempati derajat ihsan tertinggi. Tentang ihsan, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, yang artinya, “Ihsan adalah engkau beribadah kepada Allah ‘Azza wa Jalla seakan-akan engkau melihat-Nya, seandainya engkau tidak melihat-Nya maka Allah ‘Azza wa Jalla pasti melihatmu.”
Ibadallah,
Kedua: Di samping rasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla, kita juga harus memiliki sifat malu kepada manusia. Rasa malu ini akan mencegah kita dari perbuatan yang tidak layak dan tercela. Rasa malu membuat kita tidak suka jika aib dan keburukan kita diketahui orang lain. Oleh karena itu, orang yang memiliki rasa malu tidak akan menyeret dirinya untuk menjadi tukang cela, penyebar fitnah, tukang gunjing dan berbagai perbuatan maksiat lainnya yang nampak.
Singkat kata, rasa malu kepada Allah ‘Azza wa Jalla akan mencegah seseorang dari kerusakan batin, sedangkan rasa malu kepada manusia akan mencegahnya dari kerusakan lahiriah. Dengan demikian, dia akan menjadi orang yang baik secara lahir dan batin dan akan tetap baik ketika sendiri maupun di tengah khalayak ramai. Malu seperti inilah yang merupakan bagian dari iman.
Lalu bagaimana dengan orang yang tidak memiliki rasa malu? Orang yang tidak memiliki rasa malu, berarti dia tidak memiliki benteng dalam hatinya yang bisa mencegahnya dari perbuatan dosa dan maksiat. Dia akan berbuat semaunya, seakan-akan tidak ada iman yang tersisa dalam hatinya. Na’udzu billah.
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :
إِنَّ مِمَّا أَدْرَكَ النَّاسُ مِنْ كَلَامِ النُّبُوَّةِ إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Sesungguhnya diantara perkataan kenabian pertama yang diketahui manusia ialah “Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari).
Artinya, orang yang tidak memiliki rasa malu sedikitpun, dia pasti akan berbuat semaunya, tanpa peduli maksiat atau bukan. Karena rasa malu yang bisa mencegah seseorang dari perbuatan maksiat tidak dimiliki. Akibatnya, dia akan terus hanyut dan larut dalam perbuatan maksiat dan mungkar.
Kaumu muslimin wafaqaniyallahu wa iyyakum,
Setelah mengetahui urgensi rasa malu dan manfaatnya bagi seorang hamba, cobalah sekarang kita memperhatikan kondisi manusia saat ini atau secara khusus kita perhatikan kondisi diri kita. Sungguh sangat menyedihkan keadaan sebagian orang saat ini. Mereka telah mencampakkan rasa malu sampai seakan tidak tersisa sedikit pun dalam diri mereka, sehingga akibatnya berbagai kemungkaran menjamur di mana-mana; aurat yang semestinya ditutup malah dipertontonkan; perbuatan amoral dilakukan terang-terangan; rasa cemburu pada pasangan sirna. Tindakan asusila nan hina dianggap baik dan dibanggakan. Ketika ini dipermasalahkan, banyak orang sontak membelanya. Sungguh ironis, tapi inilah realita.
Di antara indikasi pudarnya rasa malu dan menipisnya rasa cemburu pada hati sebagian laki-laki atau kepala keluarga adalah tidak memperhatikan anak pergaulan istri dan anak perempuannya. Kita lihat, anak-anak perempuan dibiarkan keluar bersama laki-laki non mahram dengan nama pacaran. Mereka anggap itu sebagai proses pengenalan atau proses pendewasaan. Laa haula wa laa quwwata illa billah.
Demikian juga sang ibu, menganggap hal ini adalah sesuatu yang biasa. Akhirnya terjadilah apa yang terjadi. Kemanakah rasa cemburu dan rasa malu mereka?
Ibadallah,
Termasuk tanda hilangnya rasa malu dari sebagian wanita pada zaman ini yaitu mereka membuka hijab dan jilbab mereka. Aurat yang seharusnya mereka tutupi, justru mereka pertontonkan kepada khalayak ramai. Mereka keluar rumah dengan dandanan yang sengaja untuk menarik perhatian lawan jenis, bahkan memancing tindak asusila dengan pakaian minim, berbagai hiasan dan aksesoris yang menarik perhatian menempel di tubuh mereka serta tak ketinggalan aroma semerbak yang bisa menggait lawan jenisnya. Sorot mata jalang yang seharusnya membuatnya risih dan malu, justru semakian menimbulkan rasa bangga. Na’udzu billah
Kemanakah rasa malu yang merupakan bagian dari iman seseorang?
Diantara fakta yang juga menyedihkan yang mengisyaratkan menipisnya rasa malu atau bahkan hilang sama sekali dari sebagian kaum muslimin yaitu kegemeran mereka terhadap lagu-lagu atau film-film yang jauh dari norma-norma Islam. Untuk lagu, bukan hanya perdengarkan di rumah-rumah mereka bahkan tanpa rasa malu sama sekali, sebagian mereka meminta mengundang para biduan, meminta reques lagu di stasiun radio, dll.
Bahkan ada yang membeli film-film yang sama sekali tidak layak untuk ditonton, bahkan menyebutnya saja kita malu, kemudian diputar di rumahnya, di hadapan anak dan istrinya, padahal di dalamnya ada tayangan yang sangat tidak pantas dilihat. Hal ini memang tidak enak didengarka, tapi ternyata hal ini perlu diucapkan karena sebagian masyarakat tidak menyadarinya.
Tayang-tayangan demikian muncul di sinetron, dimana para artis bemesra-mesraan dengan dalih tuntutan peran. Kemudian diliput juga gaya hidup dan pergaulan mereka yang hedonis di acara-acara telivisi. Karena seringnya dan akrabnya masyarakat kita, sehingga mereka menganggap hal ini sesuatu yang lumrah bahkan tidak mengapa. Lalu anak-anak yang tumbuh dengan menyaksikan hal demikian pun mempraktikkan apa yang mereka lihat dalam kehidupan mereka sendiri.
Tayangan-tayangan yang demikian adalah tayangan yang tidak memberikan nilai pendidikan sama sekali kecuali pendidikan syaithaniyah untuk membangkitkan nafsu syahwat dan selanjutnya melampiaskankannya pada hal-hal yang diharamkan Allah ‘Azza wa Jalla.
Kemanakah rasa malu mereka? Apakah mereka tidak percaya lagi kepada Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam yang bersabda,
الْحَيَاءُ لَا يَأْتِي إِلَّا بِخَيْرٍ
“Sesungguhnya rasa malu itu hanya akan mendatangkan kebaikan.” (HR. Bukhari).
Dimanakah rasa malu dari seseorang yang membiarkan anak-anak mereka berkeliaran semaunya, bergaul dengan sembarang orang, melakukan aktifitas tanpa bimbingan dan membiarkan mereka diperbudak hawa nafsu. Yang baik dipandang buruk dan yang buruk terlihat indah dan menyenangkan karena tertipu dengan nafsu syahwat.
Dimanakah rasa malu dari para pegawai yang tidak bersungguh-sungguh dalam menjalankan tugas yang diamanahkan kepada mereka? Dimanakah rasa malu dari para pedagang yang melakukan penipuan dan tindakan curang, dusta dalam perdagangannya?
Sungguh, semua prilaku buruk ini akibat dari hilangnya rasa malu dari diri seseorang. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا لَمْ تَسْتَحْيِ فَاصْنَعْ مَا شِئْتَ
“Jika engkau tidak malu, maka berbuatlah sesukamu.” (HR. Bukhari).
Hendaklah kita semua senantiasa bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dan hendaklah kita senantiasa memupuk keyakinan bahwa Allah ‘Azza wa Jalla selalu mengetahui apapun yang kita lakukan di semua tempat dan waktu.
Allah berfirman,
إِنَّ الَّذِينَ يَخْشَوْنَ رَبَّهُمْ بِالْغَيْبِ لَهُمْ مَغْفِرَةٌ وَأَجْرٌ كَبِيرٌ ﴿١٢﴾ وَأَسِرُّوا قَوْلَكُمْ أَوِ اجْهَرُوا بِهِ ۖ إِنَّهُ عَلِيمٌ بِذَاتِ الصُّدُورِ ﴿١٣﴾ أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
“Sesungguhnya orang-orang yang takut kepada Rabbnya yang tidak nampak oleh mereka, mereka akan memperoleh ampunan dan pahala yang besar. Dan rahasiakanlah perkataanmu atau tampakkanlah; sesungguhnya Dia Maha mengetahui segala isi hati. Apakah Allah yang menciptakan itu tidak mengetahui (yang kamu tampakkan atau rahasiakan); dan Dia Maha halus lagi Maha Mengetahui?” (QS. al-Mulk:12-14).
للَّهُمَّ إِنَّا نَسْأَلُكَ فِي مَقَامِنَا هَذَا أَنْ تَوْفِقَنَا لِلْقِيَامِ بِمَا أَوْجَبْتَ عَلَيْنَا وَأَنْ نَكُوْنَ مِنْ عِبَادِكَ المُخْبِتِيْنَ الصَّادِقِيْنَ البَارِيْنَ يَا رَبَّ العَالَمِيْنَ إِنَّكَ جَوَادٌ كَرِيْمٌ وَالْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِيْنَ وَصَلَّى اللهُ وَسَلَّمَ عَلَى نَبِيِّنَا مُحَمَّدٍ وَعَلَى آلِهِ وَأَصْحَابِهِ وَمَنْ تَبِعَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ .
Khutbah Kedua:
الحمد لله حمدا كثيرا طيبا مباركا فيه وأشهد الا اله الا الله وحده لا شريك له شهادة نرجو بها النجاة يوم نلاقيه وأشهد أن محمدا عبده ورسوله صلى الله عليه وعلى آله وأصحابه ومن تبعهم بإحسان إلى يوم الدين
أما بعد
Kaum muslimin rahimani wa rahimakumullah,
Rasa malu yang terpuji adalah rasa malu yang bisa mencegah seseorang dari perbuatan buruk dan rasa malu yang bisa mendorong seseorang untuk melakukan berbagai kebaikan. Sedangkan rasa malu yang menghalangi seseorang dari perbuatan yang bermanfaat bagi dunia dan agamanya maka itu merupakan jenis rasa malu yang tercela. Sebagai seorang yang beriman, seorang mukmin tidak merasa malu untuk mengucapkan kalimat yang benar dan beramar ma’ruf nahi mungkar; tidak merasa malu untuk bertanya tentang sesuatu yang tidak diketahui dalam urusan agamanya.
Rasa malu yang terpuji merupakan anugerah Allah, sementara rasa malu yang tercela adalah tipuan setan. Oleh karena itu, hendaklah kita senantiasa bertakwa kepada Allah ‘Azza wa Jalla dalam semua akitifitas kita.
وَاعْلَمُوْا أَنَّ خَيْرَ الْحَدِيْثِ كِتَابُ اللهِ وَخَيْرَ الُهَدْيِ هَدْيُ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَعَلَى آلِهِ وَسَلَّمَ وَشَرَّ الأُمُوْرِ مُحْدَثاَتُهَا وَكُلَّ مُحْدَثَةٍ فِي الدِّيْنِ بِدْعَةٌ وَكُلَّ بِدْعَةٍ ضَلَالَةٌ
فَعَلَيْكُمْ بِالْجَمَاعَةِ اِجْتَمِعُوْا وَلَا تَتَفَرَّقُوْا اِجْتَمِعُوْا عَلَى دِيْنِ اللهِ اِجْتَمِعُوْا عَلَى مَا فِيْهِ الصَّلَاحُ فِي دِيْنِكُمْ وَدُنْيَاكُمْ فَإِنَّ يَدَ اللهِ عَلَى الْجَمَاعَةِ وَمَنْ شَذَّ، شَذَّ فِي النَّارِ
وَأَكْثِرُوْا مِنَ الصَّلَاةِ وَالسَّلَامِ عَلَى النَّبِي مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَإِنَّ مَنْ صَلَّى عَلَيْهِ مَرَّةً وَاحِدَةً صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا اَللَّهُمَّ صَلِّي وَسَلِّمْ عَلَى عَبْدِكَ وَرَسُوْلِكَ مُحَمَّدٍ اَللَّهُمَّ ارْزُقْنَا مَحَبَّتَهُ وَاتِّبَاعَهُ ظَاهِرًا وَبَاطِنًا اَللَّهُمَّ تَوَفَّنَا عَلَى مِلَّتَهُ اَللَّهُمَّ احْشُرْنَا فِي زَمْرَتِهِ اَللَّهُمَّ اسْقِنَا مِنْ حَوْضِهِ اَللَّهُمَّ أَدْخِلْنَا فِي شَفَاعَتِهِ اَللَّهُمَّ اجْمَعْنَا بِهِ فِي جَنَّاتٍ النَّعِيْمٍ مَعَ الَّذِيْنَ أَنْعَمْتَ عَلَيْهِمْ مِنَ النَّبِيِّيْنَ وَالصِّدِّيْقِيْنَ وَالشُّهَدَاءِ وَالصَّالِحِيْنَ. اَللَّهُمَّ ارْضَى عَنْ خُلَفَائِهِ الرَاشِدِيْنَ وَعَنِ الصَّحَابَةِ أَجْمَعِيْنَ عَنِ التَّابِعِيْنَ لَهُمْ بِإِحْسَانٍ إِلَى يَوْمِ الدِّيْنَ رَبَّنَا اغْفِرْ لَنَا وَلإِخْوَانِنَا الَّذِيْنَ سَبَقُوْنَا بِالْإِيْمَانِ وَلَا تَجْعَلْ فِي قُلُوْبِنَا غَلًّا لِلَّذِيْنَ آمَنُوْا رَبَّنَا إِنَّكَ الرَؤُوْفُ الرَحِيْمُ أَمَّا بَعْدُ.
فَقَدْ قَالَ اللهُ تَعَالَى: (يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَقُولُوا قَوْلًا سَدِيدًا.يُصْلِحْ لَكُمْ أَعْمَالَكُمْ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ ۗ وَمَنْ يُطِعِ اللَّهَ وَرَسُولَهُ فَقَدْ فَازَ فَوْزًا عَظِيمًا
(إِنَّا عَرَضْنَا الْأَمَانَةَ عَلَى السَّمَاوَاتِ وَالْأَرْضِ وَالْجِبَالِ فَأَبَيْنَ أَنْ يَحْمِلْنَهَا وَأَشْفَقْنَ مِنْهَا وَحَمَلَهَا الْإِنْسَانُ ۖ إِنَّهُ كَانَ ظَلُومًا جَهُولًا لِيُعَذِّبَ اللَّهُ الْمُنَافِقِينَ وَالْمُنَافِقَاتِ وَالْمُشْرِكِينَ وَالْمُشْرِكَاتِ وَيَتُوبَ اللَّهُ عَلَى الْمُؤْمِنِينَ وَالْمُؤْمِنَاتِ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا(
Oleh tim KhotbahJumat.com
Artikel www.KhotbahJumat.com
Artikel asli: https://khotbahjumat.com/3079-esensi-malu-dalam-kehidupan-2.html